TEORI DAN PSIKOLOGI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN SAINS
DI SEKOLAH DASAR
Oleh: Rafiuddin
Staf Mengajar Jurusan Pendidikan Agama Islam STAI AL Amanah Jeneponto
Abstract
The
theory of learning in science learning is the ability children in
cognitive learning, a teacher should look for a solution and think about
learning and studying psychology. An understanding of psychology and
the theories of how students learn and how to apply the theory in the
classroom. Experts assess and study the nature of learning in many ways
so that it can happen resemblance or similarity between the theory that
one with the other theories, are complementary and not closed any
possibility of conflicting theories. Because each theory has advantages
and weaknesses of their own, the more important thing to note is that
the user can appropriately use the advantages of each theory class each
Science learning for children requires
an understanding of concepts and the ability to link between the
concepts that have been held in cognitive structure, with a
constructivist approach teachers are expected to be able to become
facilitators for children in an effort to actualize the ability of
children who are still buds and further developing what is little or
only partially actualized , to the maximum extent possible in accordance
with existing conditions.
PENDAHULUAN
Siswa Sekolah
Dasar (SD) yang seharusnya masih menggunakan konsep pendidikan bermain
sambil belajar mulai menghilang, nama-nama benda yang biasa dilihat
disekitarnya, nama jenis tumbuhan, nama-nama binatang mulai tidak
dikenal. Setelah mulai masuk Sekolah Dasar, anak-anak mulai
diperkenalkan lingkungan yang asing melalui bacaan, gambar-gambar dan
ceramah dari gurunya. Anak-anak mulai diajak berkhayal di dunia yang
masih asing baginya. Proses tersebut berlangsung berulang-ulang,
sehingga menjadi kebiasaan. Mengapa hal tersebut terjadi? Kondisi
tersebut sangat dipengaruhi oleh kebijakan pendidikan khususnya pada
anak-anak Sekolah Dasar yang memiliki beban belajar yang diperyaratkan
sangat besar. Beban belajar yang dipersyaratkan yang harus ditanggung di
SD sangat berat (9 mata pelajaran), belum lagi masih banyak pekerjaan
rumah (PR) yang sebagian besar bersifat menghafal (menghayal) hal-hal
terpisah dari kemampuan dan tuntutan kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Sejak masa kanak-kanak para siswa telah dikondisikan dengan pencapaian
target kuantitatif yang sangat berat.
Kurikulum yang diterapkan selama
ini lebih menekankan pada keseragaman kemampuan intelektual siswa dari
pada berkembangnya kemampuan dasar siswa. Siswa diajar dengan metode,
ruang dan bobot kurikulum yang sama. Metode yang menonjol adalah metode
ceramah dengan model teks book yang menempatkan siswa sebagai pendengar,
pencatat dan penghafal kelas tinggi. Semua siswa mengikuti pelajaran
yang di standarisasi. Menurut Drost (1998:9) di Eropa dan Australia
kurikulum SLTP dan SMU diikuti 25% sampai 30% siswa yang pandai. Di
indonesia kurikulum seberat itu harus diikuti oleh 100% anak sekolah
indonesia dapat dibayangkan bahwa ternyata sekitar 70% siswa di SLTP
maupun SMU akan mengalami kegagalan. Disamping itu melekatnya budaya
paternalistik di kalangan pendidik, sistem pembelajaran yang menempatkan
guru sebagai sosok sumber belajar masih sangat dominan.
Dengan hal ini, maka penulis berharap dengan
adanya tulisan tersebut maka mahasiswa ataupun guru dapat mempelajari
Teori dan psikologi Belajar bagi mahasiswa dan dapat menerapkan teori
tersebut dan “menularkannya” kepada calon guru SD nantinya agar tidak
menjadi guru yang gagal mengantarkan anak didiknya untuk berhasil dan
mengembangkan kemampuan dasar anak didik sebagai pondasi awal bagi anak
dalam mengeyam pendidikan formal disekolah.
TEORI-TEORI
Psikologi Pembelajaran Sains
Sebagian besar orang memahami
bahwa psikologi membahas tentang bagaimana seseorang belajar, tentang
bagaimana orang tersebut melakukan atau melaksanakan suatu tugas, dan
tentang bagaimana ia berkembang. Meskipun demikian ada beberapa
pertanyaan yang terkait dengan pemebelajaran sains di SD yaitu :
- Daripada hanya mengkaji tentang bagaimana cara siswa berpikir ketika sedang mengerjakan tugasnya, mengapa kita tidak mengkaji bagaimana cara seseorang berfikir ketika ia sedang belajar sains?
- Daraipada hanya membahas atau mengkaji tentang bagaimana pemahaman konsep dapat berkembang dibenak siswa, mengapa kita tidak mengkaji tentang bagaimana pemahaman konsep Sains dapat berkembang di dalam struktur kognitif siswa?
Pemahaman teori-teori tentang bagaimana
siswa belajar dan bagaimana mengaplikasikan teori tersebut di kelas.
Para ahli mengkaji dan mempelajari hakikat belajar dari berbagai segi
sehingga bisa saja terjadi kemiripan atau kesamaan antara teori yang
satu dengan teori yang lainnya, saling melengkapi dan tidak tertutup
kemungkinan ada teori yang saling bertentangan. Sains adalah pengetahuan
yang telah diuji kebenarannya melalui metode ilmiah. Dengan kata lain
metode ilmiah merupakan ciri khusus yang dapat dijadikan identitas dari
sains. Sains dipandang sebagai suatu cara atau metode untuk dapat
mengamati dunia, dimana cara pandang sains terhadap sesuatu berbeda
dengan cara pandang biasa. Cara pandang sains bersifat analisis dengan
melihat sesuatu secara lengkap dan cermat serta dihubungkannya dengan
objek lain (Shadiq, Fajar. 1991:9)
Untuk dapat memahami sains, ada beberapa
aspek yang perlu dipahami yaitu : (1) sains sebagai institusi yaitu
eksistensinya di dalam masyarakat merupakan suatu bidang profesi seperti
halnya bidang-bidang profesi lainnya (2) sains sebagai metode yang
mempunyai langkah-langkah tertentu yang merupakan pola berfikir deduktif
maupun induktif , (3) sains sebagai kumpulan pengetahuan ilmiah yang
disusun secara logis dan sistematis, (4) sains sebagai factor utama
untuk memelihara dan mengembangkan produksi guna kesejahteraan manusia,
(5) sains sebagai factor utama yang mempengaruhi kepercayaan dan sikap
manusia terhadap alam semesta dan manusia (Sri Esti Wuryani Djiwandono.
1989:46).
Sains dapat dilihat sebagai suatu metode
yang merupakan suatu perangkat aturan-aturan untuk memecahkan masalah
atau untuk mengetahui penyebab dari suatu kejadian untuk mendapatkan
teori atau hukum-hukum ataupun teori dari objek yang diamati,
penyelidikan ilmiah secara sederhana.
Hirarki Belajar : Teori dari Gagne
Para guru IPA, IPS, Matematika
Bahasa Indonesia ataupun mata pelajaran lain tentu sudah memahami bahwa
suatu sub pokok bahasan diajarkan mendahulu pokok bahasan lainnya.
Disamping itu pengetahuan lebih sederhana harus dikuasai siswa terlebih
dahulu dengan baik agar ia dapat dengan mudah mempelajari pengetahuan
yang lebih rumit. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa sub pokok
bahasan harus diajarkan mendahului sub pokok bahasan lainnya ? atas
dasar apa penentuan itu ? apakah didasarkan pada keinginan guru ?
Menjawab pertanyaan diatas Gagne
memberikan alasan pemecahan dan pengurutan materi pembelajaran
berangkat dari pertanyaan ‘Pengetahuan apa yang harus lebih dahulu
dikuasai oleh siswa agar ia berhasil menguasai suatu pengetahuan
tertentu ‘ sampai mendapatkan ururtan-ururtan pengetahuan dari yang
paling sederhana sampai yang paling kompleks, dengan cara demikianlah
kita akan mendapatkan hirarki belajar.
Hiraraki belajar menurut Gagne
harus disusun dari atas kebawah atau top down. Dimulai dengan
menempatkan kemampuan, pegetahuan, ataupun keterampilan yang menjadi
salah satu tujuan dalam proses pembelajaran dipuncak dari hirarki
pembelajarn tersebut, diikuti kemampuan, keterampilan atau pengetahuan
prasyarat yang harus dikuasai lebih dahulu agar berhasil mempelajari
keterampilan atau pengetahuan diatasnya. Hirarki belajar dari Gagne
memungkinkan juga prasyarat yang berbeda untuk kemampuan berbeda pula.
Sebagai contoh, pemecahan masalah membutuhkan aturan, prinsip, dan
konsep-konsep terdefinisi sebagai prasyaratnya, yang membutuhkan konsep
konkret sebagai prasyarat berikutnya, dan masih membutuhkan kemampuan
membedakan (diskriminations) sebagai prasyarat berikutnya lagi
(Silberman, Melvin L. 1996:56).
Mungkin sudah sering kita
mendengar bahwa obat untuk penderita penyakit malaria akan sangat
berbeda dengan obat bagi penderita typhus. Ketika seseorang didiagnosis
menderita penyakit malaria padahal ia menderita typhus akan
mengakibatkan ketidak berhasilan dalam proses penyembuhannya, alasannya
obat yang diberikan tidak akan dapat menyembuhkan penyakit yang berbeda,
analogi ini dapat kita lihat pada proses pemecahan masalah belajar bagi
anak didik karena suatu permsalahan anak dalam belajar akan sangat
tergantung kepada keberhasilan pendidik menentukan penyebab timbulnya
masalah tersebut. Selama penyebab atau akar suatu permasalahan atau
penyakit belum dapat ditemukan dengan tepat, selama itu pula tindakan
atau program pemecahannya dapat di kategorikan sebagai tindakan
coba-coba (trial and error). Sebagai akibatnya, program pemecahan
masalah tersebut kemungkinan kecil akan berhasil, kalaupun berhasil, hal
tersebut dapat terjadi secara kebetulan saja. Dalam kasus memahami
konsep bagi anak diperlukan kemampuan untuk menggabungkan dua konsep
atau lebih. Konsep-konsep IPA, misalnya masing-masing harus dipelajari
terlebih dahulu sebelum konsep-konsep tersebut dilihat atau atau
ditinjau hubungannya. Sebagai contoh, jika besi dipanaskan maka akan
memuai. Dari contoh ini siswa harus memahami terlebih dahulu konsep
panas dan pemuaian sebelum memahami bahwa hubungan antara panas dan
proses pemuaian.
Hal penting untuk diketahui dan
perlu mendapatkan perhatian serius bagi para guru dan calon guru SD
adalah bersifat hirarkisnya pelajaran IPA, tidaklah mungkin seorang
siswa mempelajari suatu materi tertentu jika mereka tidak memiliki
pengetahuan prasyarat yang cukup. Hal ini akan berlaku sampai pada
tingkat SD sampai tingkat perguruan tinggi sekalipun.
Perlu rasanya ditekankan bagi
para pendidik dan calon pendidik di sekolah dalam mengajarkan IPA, bahwa
jika menemukan siswa mengalami kesulitan dalam proses belajarnya, ada
baiknya guru perlu mencoba untuk berfikir jernih dalam menentukan
penyebabnya, yaitu dengan menggunakan teori tentang hirarki belajar
sebagai salah satu aspek pemecahannya. Seorang siswa tidak akan mampu
mempelajari atau meyelesaikan tugas tertentu jika mereka tidak memiliki
pengetahuan prasyarat. Karena itu, untuk memudahkan para siswa selama
proses pembelajar di kelas maka, harus dimulai dengan memberi kemudahan
kepada siswa dengan mengecek, mengingatkan kembali, dan memperbaiki
kemampuan prasyaratnya.
Teori Pemrosesan Informasi
Mengapa
informasi yang disampaikan guru tidak ada bekasnya sama sekali di benak
para siswa dan ada juga yang tidak dapat bertahan lama dibenak meraka?
Teori yang disampaikan oleh beberapa ahli tentang ‘Information
Processing Learnig’ akan sangat membantu. Teori meruapakan gambaran atau
model dari kegiatan di dalam otak manusia di saat memroses suatu
informasi yang terdiri atas tiga macam ingatan yaitu : sensory memory, atau Ingatan Inderawi (II), Ingatan Jangka Pendek atau short-time memory (IJPd) serta Ingatan Jangka Panjang atau Long-term memory (IJPj).
Berdasar diagram
diatas, dapat disimpulkan apa yang dialami oleh guru dalam mengajar,
pesan atau informasi yang disampaikan oleh guru dapat hilang seluruhnya
apa bila tidak memperoleh perhatian dari siswa, atau seluruh dari
ingatan siswa terhadap informasi tersebut akan hilang jika pesan atau
informasi tersebut terkategori sebagai ingatan inderawi. Perhatian para
siswa terhadap informasi atau masukan guru akan sangat menentukan
diterima tidaknya suatu informasi. Karenanya, untuk menarik perhatian
siswa terhadap bahan yang disajikan, disamping selalu memotivasi seorang
guru harus mampu membuat dan menggunakan teori tentang hirarki belajar
dalam proses penyampaiannya selain itu dalam mengajar IPA agar selalu
mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari anak dan selalu
melakukan pengulangan dengan memperbanyak latihan atau mempraktekan
teori-teori yang disampaikan tadi sehingga pesan atau informasi yang
disampaikan tadi akan berkesan dan tersimpan di memori jangka panjang
anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan pula agar suatu pengetahuan
dapat diingat oleh siswa dengan mudah adalah :
- Konsep yang dipahami siswa sebelumnya akan sangat membantu dan lebih mudah untuk memahami konsep selanjutnya yang berhubungan.
- Hal-hal yang terorganisir dengan baik akan lebih mudah diingat siswa daripad hal-hal yang belum terorganisir.
- Sesuatu yang menarik perhatian siswa akan lebih mudah diingat dari pada sesuatu yang tidak menarik.
Tanpa perhatian siswa, suatu informasi hanya
dapat bertahan satu detik saja didalam ingatan inderawi para siswa,
dengan adanya perhatian atau retensi dari siswa, informasi akan bertahan
selama 20 detik di dalam ingatan jangka panjang siswa dan cenderung
hilang lagi, agar tidak hilang diperlukan proses pengulangan atau
repetisi sehingga informasi tersebut masuk ke dalam ingatan jangka
panjangnya.
Teori belajar Menemukan Jerome Bruner
Salah satu model instruksional
kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner dalam
bukunya Ratna Wilis Dahar. (1989:36) yang dikenal dengan nama belajar
penemuan (discovery learning). Belajar penemuan sangat sesuain
dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan
sendirinya memberikan hasil yang paling baik karena berusaha sendiri
untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertaianya
akan menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Siswa hendaknya
belajar melalui partisipasi ecara aktif dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip, agar mereka memperoleh pengalaman serta melakukan
eksperimen untuk menemukan konsep itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan memberikan beberapa kebaikan bagi siswa yaitu:
- Pengetahuan yang diperoleh akan bertahan lama, lebih mudah diingat bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain
- Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik dari belajar lainnnya
- Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penelaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas
Dengan memberikan dorongan kepada siswa
untuk belajar menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang melintas
difikiran mereka dengan memberi kesempatan untuk menemukan jawaban
sendiri akan memeberikan manfaat yang sangat baik bagi siswa, sehingga
proses belajar dapat berjalan dengan baik dan guru tidak lagi menjadi
sumber informasi pengetahuan tetapi menjadi fasilitator dalam upaya
pencarian siswa menemukan jawabannya sendiri.
Teori Belajar Bermakna David Ausubel
Salah satu belajar yang harus
dihindari yang dikemukakan oleh Ausubel adalah belajar menghafal
‘belajar membeo’ atau dikenal dengan ‘rote learning’ ini sering
kita jumpai pada kanak-kanak yang masih belum mampu untuk memahami
suatu konsep secara utuh, tetapi lebih pada sekedar memindahkan
informasi yang diperolehnya baik dari teman maupun dari guru. Intinya
jika seorang anak berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan
hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil
pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna
sama sekali baginya.
Untuk menguasai suatu materi
seorang anak harus mamiliki penguasaan beberapa kemampuan dasar terlebih
dahulu. Setelah itu si anak harus mampu mengaitkan antara pengetahuan
yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya, karenanya Ausubel
dalam Ratna Wilis Dahar. (1989:36) menyatakan bahwa “If I had to
reduce all of educational psychology to just one principle, i would say
this : The most important single factor influencing learning is what the
learner already knows. Ascertain this and teach him accordingly”. Jelaslah bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran.
Untuk menjelaskan tentang
belajar bermakna, kita dapat memperhatika 3 dereran bilangan dibawah
ini, manakah yang lebih mudah dipelajari oleh siswa?
- 54.918.071
- 17.081.945
- 89.107.145
Seorang siswa dapat mengingat ketiga
bilangan itu, jika ia mengucapkan bilangan tersebut berulang-ulang
beberapa kali, dan akhirnya ia akan berhasil juga mempelajarinya. Namun
apabila bilangan tersebut dicoba untuk memberikan makna maka akan sangat
jelas sekali bahwa bilangan II akan sangat mudah untuk diingat atau
dipelajari karena berkaitan dengan tanggal kemerdekaan RI yaitu
17-08-1945. Proses pemebelajaran bilangan 17.081.945 (tujuh belas juta
delapan puluh satu ribu sembilan ratus empat puluh lima) akan bermakna
bagi siswa jika dengan bantuan gurunya angka itu dihubungkan dengan
kerangka kognitif yang dimiliki siswa tentang tanggal kemerdekaan.
Sedangkan bilangan III adalah bilangan yang sangat sulit dipelajari
karena aturan atau polanya belum diketahui.
Suatu proses pembelajaran akan
lebih mudah dipelajari dan dimengerti jika para guru mampu memberi
kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga para siswa dapat mengaitkan
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Itulah
arti dari belajar bermakna (Meaningful learning) yang digagas oleg Davi Ausubel.
PEMBAHASAN
Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar
Sebagian besar orang memahami bahwa
psikologi membahas tentang bagaimana seseorang belajar, tentang
bagaimana orang tersebut melakukan atau melaksanakan suatu tugas, dan
tentang bagaimana ia berkembang. Meskipun demikian ada beberapa
pertanyaan yang terkait dengan pemebelajaran sains di SD yaitu :
- Daripada hanya mengkaji tentang bagaimana cara siswa berpikir ketika sedang mengerjakan tugasnya, mengapa kita tidak mengkaji bagaimana cara seseorang berfikir ketika ia sedang belajar sains?
- Daraipada hanya membahas atau mengkaji tentang bagaimana pemahaman konsep dapat berkembang dibenak siswa, mengapa kita tidak mengkaji tentang bagaimana pemahaman konsep Sains dapat berkembang di dalam struktur kognitif siswa?
Pemahaman teori-teori tentang bagaimana
siswa belajar dan bagaimana mengaplikasikan teori tersebut di kelas.
Para ahli mengkaji dan mempelajari hakikat belajar dari berbagai segi
sehingga bisa saja terjadi kemiripan atau kesamaan antara teori yang
satu dengan teori yang lainnya, saling melengkapi dan tidak tertutup
kemungkinan ada teori yang saling bertentangan. Karena setiap teori
mempunyai keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri, maka hal yang lebih
penting untuk diperhatikan adalah pengguna dapat dengan tepat
menggunakan keunggulan setiap teori tersebut dikelasnya masing-masing
Sains adalah pengetahuan yang telah diuji
kebenarannya melalui metode ilmiah. Dengan kata lain metode ilmiah
merupakan ciri khusus yang dapat dijadikan identitas dari sains. Sains
dipandang sebagai suatu cara atau metode untuk dapat mengamati dunia,
dimana cara pandang sains terhadap sesuatu berbeda dengan cara pandang
biasa. Cara pandang sains bersifat analisis dengan melihat sesuatu
secara lengkap dan cermat serta dihubungkannya dengan objek lain
(Shadiq, Fajar. 1991:7).
Kebanyakan guru memilki cara berbicara
kurang lebih 100-200 kata per menit. Namun berapa banyak kata yang dapat
siswa dengar? Ini tergantung pada bagaimana mereka mendengarkan. Jika
siswa betul-betul konsentrasi, barangkali mereka dapat mendengarkan
antara 50-100 kata per menit, atau setengah dari yang dikatakan guru.
Hal ini karena siswa sambil berpikir ketika mereka mendengarkan. Sulit
dibandingkan dengan seorang guru yang banyak bicara. Barangkali para
peserta didik tidak konsentrasi karena sangat sulit berkonsentrasi
secara terus menerus dalam waktu lama, kecuali materi pelajaran menarik.
Penelitian menunjukkan bahwa siswa mendengarkan (tanpa berpikir)
rata-rata 400-500 kata per menit. Ketika mendengarkan secara
terusmenerus selama waktu tertentu pada seorang guru yang sedang bicara
empat kali lebih lambat, siswa cenderung bosan, dan pikiran mereka akan
melayang ke mana-mana.
Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi
pendidik (guru) dengan peserta didik (siswa), untuk mencapai tujuan
pendidikan yang berlangsung dalam ungkapan tertentu. Interaksi ini
disebut interaksi pendidikan, yaitu saling pengaruh antara pendidik
dengan peserta didik.
Pendidikan berfungsi membantu siswa dalam
pengembangan dirinya, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta
karakteristik pribadinya kearah yang positif, baik bagi dirinya maupun
lingkungannya. Pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan atau
nilai atau pelatihan ketrampilan. Pendidikan berfungsi mengembangkan apa
yang secara potensi dan aktual telah dimiliki siswa, sebab siswa
bukanlah gelas kosong yang harus diisi dari luar. Mereka telah memiliki
sesuatu, sedikit atau banyak, telah berkembang (teraktualisasi) atau
sama sekali masih kuncup (potensial). Peran guru adalah mengaktualkan
yang masih kuncup dan mengembangkan lebih lanjut apa yang sedikit atau
baru sebagian teraktualisasi, semaksimal mungkin sesuai dengan kondisi
yang ada.
Dengan demikian siswa mampu mempertautkan
dan memanfaatkan pengetahuan maupun ketrampilan yang mereka peroleh di
sekolah dalam proses belajar di kehidupan mereka sehari-hari. Hasil
akhirnya diharapkan kedalaman dan keluasan pemahaman siswa atas
pengetahuan dan ketrampilan yang mereka tekuni lebih meningkat.
Penerapan proses pembelajaran yang
memberikan keluasan kepada siswa untuk aktif membangun kebermaknaan
sesuai dengan pemahaman yang telah mereka miliki, memerlukan serangkaian
kesadaran akan makna bahwa pengetahuan tidak bersifat obyektif dan
stabil, tetapi bersifat temporer dan tidak menentu, tergantung dari
persepsi subyektif individu dan individu yang berpengetahuan
menginterprestasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi berdasarkan
pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan (Ratna Wilis Dahar.
1989:6).
Tulisan ini bertujuan mengetahui dan
memahami tentang pembelajaran konstruktivis sebagai salah satu
pendekatan dalam menciptakan proses pembelajaran yang memberikan
keleluasaan kepada siswa untuk aktif membangun kebermaknaan sesuai
dengan pemahaman yang mereka miliki. Selain itu juga untuk mengembangkan
wawasan tentang ragam sistem pembelajaran beserta subtansi pola yang
ditawarkan. Sehingga akan menghasilkan hasil belajar yang efektif dan
memberikan manfaat bagi peserta didik (si belajar).
Makna dan Lingkup Kontruktivis.
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang
universal di dalam kehidupan manusia. Dimanapun dan kapanpun di dunia
ini terdapat pendidikan. Pendidikan dipandang merupakan kegiatan manusia
untuk memanusiakan sendiri, yaitu manusia berbudaya. Konstruktivis
sebagai suatu konsep yang banyak membicarakan masalah pembelajaran,
diharapkan menjadi landasan intelektual untuk menyusun dan menganalisa
problem pembelajaran dalam pergulatan dunia pendidikan. Konstruktifis
berarti bersifat membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan,
konstruktifisme merupakan suatu aliran yang berupaya membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Konstruktifis berupaya
membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan
tertinggi dalam kehidupan manusia. Menurut R. Wilis Dahar dinyatakan
bahwa sebagai filsafat belajar, konstruktifisme sudah terungkap dalam
tulisan ahli Filsafat Giambattista Vico 1710, yang mengemukakan bahwa
orang hanya dapat benar-benar memahami apa yang dikonstruksinya sendiri.
Banyak orang sepaham dengan gagasan ini tetapi yang pertama
mengembangkan gagasan konstruktifisme yang ditetapkan dalam kelas dan
perkembangan anak adalah Piaget.
Pandangan klasik yang selama ini berkembang
adalah bahwa pengetahuan ini secara utuh dipindahkan dari fikiran guru
kefikiran anak. Penelitian pendidikan sains pada tahun-tahun terakhir
telah mengungkapkan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran
seseorang. Pandangan terakhir inilah yang dianut oleh konstruktifisme.
Tujuan pembelajaran konstruktivistik ini
ditentukan pada bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang
menuntut aktifitas kreatif produktif dalam konsteks nyata yang
mendorong si belajar untuk berfikir dan berfikir ulang lalu
mendemonstrasikan.
Dalam teori, peran guru adalah menyediakan
suasana dimana para siswa mendesain dan mengarahkan kegiatan belajar itu
lebih banyak dari pada menginginkan bagi siswa agar benar-benar
memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, maka harus bekerja memecahkan
masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan
ide-ide.
Menurut teori ini, satu prinsip penting
dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar
memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa harus membangun
sendiri pengetahuan dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan
dalam proses ini dengan memberikan kesempatan siswa untuk menentukan
atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar siswa menjadi sadar
menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi
siswa, anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi
dengan catatan siswa sendiri harus memanjat anak tangga tersebut.
Sistem pendekatan konstruktivis dalam
pengajaran lebih menekankan pengajaran top down daripada bottom up
berarti siswa memulai dengan masalah komplek untuk dipecahkan, kemudian
menemukan (dengan bimbingan guru) ketrampilan dasar yang diperlukan.
Bangunan pemahaman sekaligus penataan
perilaku anak didik menjadi titik perhatian dalam pembelajaran
konstruktifis. Menurut Yatim Riyanto, konstruktifistik berada dalam
situasi kontras, berakar pada pengajaran cara lama yang dilaksanakan di
sekolah Amerika. Secara tradisional, pembelajaran telah dipersiapkan
menjadi “mimetic” (kegiatan meniru). Suatu proses yang melibatkan siswa
untuk mengulangi atau meniru. Sementara di lain pihak, praktek
pembelajaran konstruktif dilakukan untuk membantu siswa membentuk,
mengubah diri atau mentransformasikan informasi baru (Ratna Wilis Dahar.
1989:7)
Untuk melakukan transformasi yang paling
awal harus dilakukan adalah mengetahui konteks sosial pengajaran dan
kemudian membedakan antara pendidikan yang membebaskan dengan pendidikan
tradisional. Pada dasarnya pendidikan yang membebaskan adalah situasi
dimana guru dan siswa sama-sama memiliki perbedaan. Hal demikian
merupakan ujian perbedaan yang pertama pendidikan yang membebaskan dari
sistem pendidikan konvensional. Di sini guru dan siswa sama-sama menjadi
subyek kognitif dari upaya menjadi tabu.
Dari tujuan tentang lingkup konstruktifisme
dalam pembelajaran ini, pada dasarnya ada beberapa tujuan yang ingin
diwujudkan antara lain :
- Memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
- Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri jawabannya.
- Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau pemahaman konsep secara lengkap.
- Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri
Implikasi Konstruktivisme
Untuk pertama
kalinya, Budi mengamati magnet yang dipegang ayahnya. Ia sangat antusias
sekaligus heran melihat magnet dapat menarik besi lain. Kebetulan
magnet tersebut berwarna kehitam-hitaman. Tiba-tiba saja ia bertanya:
“ini batu lengket ya Pak?” dari pertanyaan yang disampaikan budi tadi
dapat dimunculkan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat
nya:
- Siapa yang mengajari Budi sehingga ia memberi nama ‘batu lengket ‘ untuk magnet tersebut?
- Mengapa ia memberi nama itu dan bukan nama lain?
- Salahkah jika ia memberi nama itu?
Ketika ayahnya bertanya kepada Budi tentang
orang yang memberi tahukan benda itu bernama “batu lengket” ia menjawab
‘tidak ada’. Artinya, ia sendiri yang memberi nama tersebut berdasarkan
konsep yang ia ketahui tentang batu dan konsep ‘lengket’. Hal itu
menunjukkan bahwa ia secara aktif telah menanggapi suatu rangsangan atau
informasi dari luar yang menarik hatinya. Disamping itu magnet tersebut
sangat mirip dengan batu yang sering dia lihat dibelakang rumahnya.
Jelaslah bahwa pemberian nama tadi telah didasarkan pada pengetahuan
yang sudah ada di dalam benaknya. Konstruktivisme menyatakan bahwa
pengetahuan akan tersusun atau terbangun di dalam pikiran siswa sendiri
ketika ia berupaya untuk mengorganisasikan pengalaman barunya berdasar
kepada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam fikirannya. Dengan
demikian pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru
ke otak siswanya. Setiap siswa harus membangun pengetahuan itu di dalam
otaknya sendiri (Ibrahim, Muslimin. 2003:34).
Konsep magnet yang telah dimiliki Budi jelas
salah karena ia menganggap benda yang dapat menarik besi lain itu
adalah batu. Tidak hanya Budi yang pernah berbuat salah seperti itu.
Para ilmuwan zaman dahulupun pernah berbuat demikian dengan beranggapan
bahwa bumi itu datar, atau beranggapan juga bahwa matahari mengelilingi
bumi. Jika para ilmuwan tersebut dapat melakukan kesalahan maka wajarlah
apabila siswa melakukan kesalahan serupa bahkan kadarnya jauh lebih
tinggi karena keterbatasan pengalaman., penalaran dan kemampuan
prasyarat mereka. Meskipun demikian, seorang siswa tidak akan memberikan
jawaban yang salah dengan sengaja. Artinya, ia tetap menyakini bahwa
jawaban yang mereka sampaikan adalah benar. Inti dari konstruktivisme
lainnya adalah, mengajar tidak dapat disamakan dengan mengisi air ke
dalam botol atau menuliskan informasi diatas kertas kosong. Proses
pembelajaran akan berhasil hanya jika para siswa tersebut telah berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk mengolah dan mencerna informasi hanya jika
para siswa telah bersungguh-sungguh untuk mengolah dan mencerna
informasi baru tersebut dengan menyesuaikannya pada pengetahuan yang
telah tersimpan di dalam kerangka kognitifnya ataupun dengan mengubah
kerangka kognitifnya.
Implikasi pada Proses Pembelajaran Sains
Lantas mengapa sains begitu
ditakuti sebagian besar siswa? Ternyata, hal itu terjadi lantaran cara
belajar yang salah. ”siswa kita belajar sains secara salah.
Pertama-tama, mereka harus belajar rumus, setelah itu harus mengisi
soal,”. Tak heran, bila dengan cara belajar seperti itu, para siswa pun
jadi tak bernafsu belajar sains. Seharusnya, yang pertama kali harus
dipelajari dari sains adalah konsep atau hal-hal yang mengasyikan dan
dekat dengan lingkungannya. Fenomena-fenomena alam itu dipelajari dan
diteliti dengan cara yang mengasyikkan. Setelah asyik dan mengerti
tujuan belajar dari fenomena itu, barulah diperkenalkan Konsep-konsep
yang lebih jauh. Dengan mendapatkan dan mengalami keasyikan belajar
sains serta tujuan dari belajar sains, pasti siswa akan tertarik mau
mengerjakan konsep-konsep yang lebih susah.
Sebagaimana yang telah
dijelaskan, tidak setiap pengetahuan dapat dipindahkan dengan mudah dari
otak guru ke pada otak para siswanya. Menurut paham konstruktivis siswa
harus membangun sendiri pengetahuan yang diperolehnya. Karenanya
seorang guru dituntut menjadi fasilitator proses pembelajarannya.
Belajar sains baiknya disajikan oleh guru diibaratkan dengan makanan
yang disajikan oleh koki. Makanan tidak akan dicerna serta pengetahuan
tidak akan dibangun kedalam kerangka kognitif anak jika mereka sama
sekali tidak tertarik untuk mencerna atau mempelajarinya. Agar proses
pembelajaran sains dapat berjalan lancar dan berhasil dengan baik, para
guru harus dapat meyakinkan diri bahwa siswa dalam keadaan aktif
belajar. Sehingga keaktifan guru manegur, memotivasi dan membimbing para
murid serta memberikan tugas yang lebih menantang kepada murid agar mau
belajar dan dapat menemukan sendiri konsep-konsep sains.
Dengan demikian penggunaan
strategi pembelajaran tradisonal yang dikenal dengan beberapa istilah
seperti; pembelajaran berpusat pada guru (teacher centered aproach), pembelajarn langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif (Deduktive teaching), ceramah (expository learning)
dan lain-lain yang lebih menekankan kepada siswa untuk mengingat,
menghafal, dan kurang atau malah tidak menekankan para siswa untuk
bernalar (reasoning), memecahkan masalah (problem solving), dan pemahaman (understanding)
dengan demikian maka para siswa hanya menggunakan kemampuan berfikir
tingkat rendah selama proses pembelajaran berlangsung di dalam kelas dan
tidak memberikan kemungkinan kepada para siswa untuk berfikir dan
berpartisipasi secara penuh. Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah,
mana yang lebih baik? Siswa yang hanya pandai mengikuti hal-hal yang
telah dicontohkan atau dilatihkan oleh gurunya, ataukah siswa yang
kreatif, siswa yang bisa memecahkan masalah, dan mampu serta cepat
memahami konsep-konsep baru?. Karena itulah, praktek pembelajaran yang
hanya melatih siswa untuk mengikuti hal-hal yang telah dicontohkan
gurunya seperti yang diceritakan di atas sesungguhnya tidak sesuai
dengan arah pengembangan dan inovasi pendidikan kita.
Contoh Pembelajaran Sains
Contoh pembelajarn yang lebih mengaktifkan
siswa, dengan harapan siswa mampu memperoleh sebuah konsep dengan
mengaitkan konsep-konsep yang telah mereka miliki di dalam struktur
kognitifnya.
Pokok Bahasan : Makanana dan Kesehatan Kelas V Semester I
Tahap Pokok
|
Tahap Pembelajaran
|
Pilihan Kegiatan
|
Teknis Kegiatan di Kelas
|
1. Kegiatan Awal |
Pendahuluan |
Cerita/ Kejadian |
Guru menampilkan berita/ guntingan Koran tentang terjadinya kelaparan
atau penyakit busung lapar yang diderita sebagian anak di berbagai
daerah Indonesia (disertai foto anak penderita busung lapar) |
Pengetahuan Awal siswa |
Mengumpulkan dan mendiskusikan |
Siswa dapat menyebutkan atau mendapatkan informasi dari Koran
tersebut bahwa anak penderita busung lapar tersebut menderita penyakit
akibat kekurangan bahan makanan berdasarkan pengetahuan siswa. |
|
2. Kegiatan Inti |
Perumusan pertanyaan/ permasalahan tentang topik pembelajaran |
Merumuskan pertanyaan tentang topik pembelajaran |
Siswa dapat memunculkan pertanyaa. Zat apa sajakah yang dikandung oleh bahan makanan tersebut? |
Kegiatan |
Melakukan Percobaan |
Siswa melakukan percobaan untuk mengetahui berbagai macam kandungan
zat yang terdapat pada beberapa bahan makanan yang telah disiapkan oleh
guru. Dan melakukan pengamatan pada uji bahan makanan tersebut. |
|
Pengamatan |
Melakukan Pengamatan sebanyak mungkin |
||
Jawaban pertanyaan, pemecahan masalah |
Jawaban/ penjelasan dari siswa dari hasil percobaan dan merumuskan kesimpulan |
Siswa menjelaskan hasil pengamatannya lewat diskusi kelas bahwa anak
penderita busung lapar disebabkan karena kekurangan zat gizi yang
terkandung di dalam bahan makanan seperti Karbohidrat, Protein, Lemak,
dll. |
|
3. Kegiatan Pemantapan |
Penerapan di lingkungan serta penanaman sikap pada anak |
Anak diberikan informasi agar memakan makanan yang bergizi, mengatur
pola makan dan menjaga kesehatan badan, serta ditanamkan sikap tolong
menolong dalam membantu orang miskin agar tidak menderita kelaparan. |
(Ibrahim, Muslimin. 2003:37).
Dengan penerapan kegiatan diatas dalam
pembelajaran dikelas diharapkan siswa dapat berpikir reflektif yang
dikenal dengan cara berpikir ilmiah (scientific approach) dan murid
membentuk kemampuan untuk berfikir dengan mengaitkan konsep-konsep yang
telah dimiliki menjadi sebuah konsep baru dari permasalahan yang
diberikan oleh guru. Dalam pembelajaran ini diharapkan terjadi proses
meneukan dan membangun pengetahuan sendiri terhadap permasalahan yang
ada dan timbul di sekitar anak sehingga mereka memiliki senstifitas
terhadap lingkungan disekitarnya dan lebih mampu menangkap konsep-konsep
yang terlihat melalui fenomena alam.
KESIMPULAN
Dalam upaya meningkatkan kemampuan kognisis
anak dalam belajar kognitif, seorang pengajar patut mencari sebuah
pemecahan dan memikirkan serta mempelajari psikologi pembelajaran.
Pemahaman tentang psikologi dan teori-teori bagaimana siswa belajar dan
bagaimana mengaplikasikan teori tersebut di kelas. Para ahli mengkaji
dan mempelajari hakikat belajar dari berbagai segi sehingga bisa saja
terjadi kemiripan atau kesamaan antara teori yang satu dengan teori yang
lainnya, saling melengkapi dan tidak tertutup kemungkinan ada teori
yang saling bertentangan. Karena setiap teori mempunyai keunggulan dan
kelemahan sendiri-sendiri, maka hal yang lebih penting untuk
diperhatikan adalah pengguna dapat dengan tepat menggunakan keunggulan
setiap teori tersebut dikelasnya masing-masing
Belajar sains bagi anak membutuhkan
pemahaman konsep dan kemampuan untuk menghubungkan antar konsep yang
telah dimiliki didalam struktur kognitifnya, dengan pendekatan
konstruktivisme guru diharapkan mampu untuk menjadi fasilitator bagi
anak dalam upaya mengaktualkan kemampuan anak yang masih kuncup dan
mengembangkan lebih lanjut apa yang sedikit atau baru sebagian
teraktualisasi, semaksimal mungkin sesuai dengan kondisi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, Muslimin. 2003. Kerja Ilmiah : Pengamatan (Observasi). Modul Pelatihan Terintegrasi Guru-Guru Mata Pelajaran Biologi. Direktorat PLP Depdiknas. Jakarta
Ratna Wilis Dahar. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Shadiq, Fajar. 1991. Belajar dari Kesalahan Siswa Untuk Menjadi Guru Berpengalaman. Suara Guru. No. 6. Jakarta
Silberman, Melvin L. 1996. Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject. Allyn and Bacon. Boston
Sri Esti Wuryani Djiwandono. 1989. Psikologi Pendidikan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta
Mengembangkan Belajar Efektif : http://www. Tabloid Penabur.com.
Suka Sains, Why not? : http://www. Republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar